Apakah amalan pelaku bidah tidak diterima?
Dari ‘Aisyah radhiyallahu ‘anha, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Barang siapa yang mengada-adakan suatu perkara di dalam urusan (agama) kami ini yang tidak ada dasar di dalamnya, maka amal itu tertolak.” (HR. Bukhari no. 2697 dan Muslim no. 1718).
Di antara bahaya bidah adalah menyebabkan amal menjadi tertolak atau tidak diterima. Namun, apakah seluruh bagian amalannya tertolak atau hanya bagian yang bidah saja yang tertolak?
Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam mengatakan, “Akan muncul suatu kaum di tengah-tengah kalian yang kalian akan meremehkan shalat kalian bila melihat shalat mereka, begitu juga dengan puasa kalian jika melihat puasa mereka, serta amal kalian jika melihat amal mereka. Mereka membaca Alquran, tetapi bacaan mereka tidak sampai melewati batas tenggorokan.” (HR. Bukhari no. 3414, 4771, 5058, 5811, 6532 dan Muslim no. 1063).
Dalam hadis di atas, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam menggambarkan kondisi orang-orang khawarij yang sangat gemar beribadah. Kuantitas shalat, puasa, atau amal mereka secara umum itu lebih dari amal yang dilakukan oleh para sahabat radhiyallahu ‘anhum. Akan tetapi, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam menggambarkan keluarnya mereka dari agama seperti anak panah yang mampu menembus tubuh hewan (sasaran panah) karena begitu kuatnya anak panah tersebut melesat dari busur panah.
Oleh karena itu, jika telah ditetapkan bahwa amal sebagian pelaku bidah (dalam hal ini adalah qadariyyah dan khawarij) itu tidak diterima, maka setiap pelaku bidah perlu merasa khawatir akan memiliki nasib yang sama.
Syekh Sa’ad bin Nashir Asy-Syatsri menjelaskan bahwa terkait dengan tertolak tidaknya suatu amal ibadah yang mengandung bidah, terdapat rincian yang perlu diperhatikan:
- Jika bidah itu 100% murni baru, tidak ada asal usulnya sama sekali dari syariat. Jika ini yang terjadi, maka keseluruhan ibadah baru tersebut tertolak.
- Jika ibadah tersebut pada asalnya ada tuntunan dari syariat, tetapi dilakukan dengan suatu tata cara yang bidah. Jika ini yang terjadi, ada dua rincian; Pertama, jika bidah tersebut menyebabkan bentuk lahiriah dari suatu ibadah berubah. Kedua, bidah yang ada tidak sampai menyebabkan berubahnya bentuk lahiriah dari suatu ibadah.
Semoga bahasan ini bermanfaat.
Penulis: Ustaz M. Saifudin Hakim hafizhahullah
Artikel: Muslim.or.id
