Kiat menghindari perpecahan
Rasulullah shallallohu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Wajib atas kalian untuk mengikuti sunnahku dan sunnah para khulafa’ur rosyidin yang mendapat petunjuk. Berpegang teguhlah kepadanya dan gigitlah erat-erat dengan gigi gerahammu.” (HR. An Nasai dan At Tirmidzi, hasan sahih).
Allah melarang perpecahan walaupun perpecahan itu sendiri merupakan kehendak-Nya. Maka oleh sebab itulah Allah memberikan jalan keluar dari perpecahan. Allah memerintahkan supaya berpegang teguh kepada jalan-Nya, yaitu jalan golongan yang selamat (firqoh najiyah) atau kelompok yang mendapat pertolongan (thoifah manshuroh).
Perpecahan hanya terjadi pada permasalahan prinsipil, yaitu masalah ushuluddin (dasar agama) yang ditetapkan oleh nash yang qath’i (jelas dan tegas), ijmak atau sesuatu yang telah disepakati sebagai manhaj (metodologi beragama) Ahlus Sunnah wal Jama’ah yang tidak boleh diperselisihkan. Siapa saja yang menyelisihi masalah di atas, maka ia termasuk orang yang berpecah atau keluar dari Al-Jama’ah (kelompok Rasulullah dan sahabatnya). Adapun selain itu, masih tergolong perkara ikhtilaf.
Para ulama membagi ikhtilaf menjadi 2, yaitu:
- Ikhtilaf/khilafiyah yang diperbolehkan. Yang termasuk ikhtilaf jenis ini adalah setiap permasalahan dalam agama ini yang diperselisihkan sejak dahulu oleh para ulama mujtahid dari kalangan sahabat Nabi, tabiin, dan tabi’ut tabi’in, serta para imam ahlul hadis dan imam kaum muslimin. Sehingga dengan demikian, seorang muslim tidak boleh sembarangan dan serampangan mengeklaim bahwa suatu perkara agama merupakan perkara khilafiyah. Hendaknya melihat kepada para imam terdahulu (assalafus sholih), apakah mereka berbeda pendapat di dalamnya atau tidak.
- Ikhtilaf yang tercela. Yang termasuk ikhtilaf jenis ini adalah setiap ikhtilaf yang dapat membawa kepada perpecahan dan permusuhan serta kebencian. Ini semua dilarang oleh syariat.
Siapa pun yang berbeda pendapat harus menyadari bahwa tidak ada manusia yang ma’shum (terbebas dari kesalahan) kecuali Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. Imam Malik rahimahullah berkata, “Setiap orang dapat diterima atau ditolak perkataannya, kecuali penghuni kubur ini (yaitu Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam).” Maka tidak layak seorang muslim memaksakan pendapatnya kepada saudaranya yang lain dalam hal-hal fiqhiyyah yang berada dalam ruang lingkup ijtihadiyah.
Penulis: Ustaz Abu Yazid Nurdin hafizhahullah
Artikel: Muslim.or.id