Mampukah kita memaafkan ketika disakiti?
Allah Ta’ala berfirman, “Tentu tidaklah sama antara kebajikan dengan kejahatan. Balaslah dengan cara- cara yang lebih baik, niscaya dalam sekejap antara dirimu dan orang yang memusuhimu akan terjalin hubungan baik, seakan-akan dia adalah pembelamu yang paling setia.” (QS. Fusshilat: 34).
Di saat ada orang lain yang memaki kita, biasanya kita terpancing untuk balas memakinya. Di saat ada orang yang memusuhi kita, menjelek-jelekkan kita, biasanya kita tergoda untuk melakukan hal yang serupa atau bahkan lebih dari yang ia lakukan terhadap kita.
Namun, pernahkah terbetik di hati kita rasa iba kepada orang yang berbuat jahat kepada kita tadi? Pernahkah kita berkeinginan untuk memberinya hadiah karena dia telah menghina, memaki, dan memusuhi kita?
Alih-alih hadiah, sekadar mengucapkan salam ketika berjumpa dengannya, atau mungkin berkunjung ke rumahnya saja mungkin terlalu berat untuk kita lakukan, setelah semua yang ia lakukan pada kita. Karena itu, wajar bila kondisi buruk ini terus berkepanjangan dan terwariskan kepada anak cucu kita.
Coba kita simak ayat yang tercantum dalam gambar di atas.
Memang terasa berat, dimusuhi malah memaafkan, bahkan memberinya hadiah. Di-plengosi malah tersenyum dan mengucapkan salam kepadanya. Namun, percayalah bahwa sejatinya itu tidaklah sulit bila kita memiliki jiwa yang besar, hati yang lebar. Adanya rasa berat, sejatinya adalah bukti betapa kerdilnya jiwa kita. Karena itu, setelah ayat di atas, Allah Ta’ala berfirman :
وَمَا يُلَقَّاهَا إِلَّا الَّذِينَ صَبَرُوا وَمَا يُلَقَّاهَا إِلَّا ذُو حَظٍّ عَظِيمٍ
“Sikap itu tidaklah dikaruniakan kecuali kepada orang-orang yang bersabar dan tidaklah dikaruniakan kecuali kepada orang-orang yang dapat keberuntungan besar.” ( QS. Fusshilat: 35).
Marilah kita belajar menjadi orang-orang yang berjiwa besar, walau tubuh kita kecil, agar kita beruntung besar.
Penulis: Ustadz DR. Muhammad Arifin Baderi, Lc., MA.
Artikel: Muslim.or.id