Membahas agama tidak boleh menggunakan perkataan cabul
Dari Abdullah bin Mas’ud radhiyallahu ‘anhu, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Seorang mukmin bukanlah orang yang suka mencela atau suka melaknat atau suka berkata kotor atau suka berkata-kata cabul” (HR. Tirmidzi no. 1977, disahihkan oleh Al Albani dalam Shahih At Tirmidzi).
Perkataan vulgar, jorok, dan cabul tidak diperbolehkan sama sekali dalam membahas apa pun. Apalagi dalam masalah agama, lebih terlarang lagi. Seperti mengungkapkan urusan ranjang, membahas urusan kemaluan dan aurat, dengan bahasa yang terang-terangan.
Walaupun pembahasan yang dibahas isinya benar sekalipun, jika menggunakan kata-kata atau gestur yang cabul, tetap terlarang berdasarkan hadis yang kami cantumkan dalam gambar.
Al Munawi rahimahullah mengatakan, “Al baza’ adalah ucapan kotor dan dianggap tabu, walaupun isinya benar.” (At Tawaqquf ‘ala Muhimmatit Ta’arif, hlm. 73).
Setiap orang harus memiliki rasa malu yang mencegah dia untuk melakukan perkara-perkara cabul, karena malu adalah bagian dari iman. Dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, Nabi shallallahu ’alaihi wa sallam bersabda, “Iman itu enam puluh sekian cabang, dan malu adalah salah satu cabang dari iman.”
(HR. Bukhari no. 9 dan Muslim no. 35).
Namun, bukan berarti tidak boleh membahas fikih yang terkait dengan urusan ranjang dan kemaluan, di sini hendak kami tegaskan dalam membahas hal-hal demikian harus memperhatikan adab-adabnya. Di antaranya;
- Dengan bahasa yang sopan dan berwibawa.
- Berusaha menggunakan bahasa yang tidak lugas.
- Memperhatikan audiens, apakah layak untuk mendengarkan masalah tersebut?
- Dibahas sesuai kebutuhan bukan menjadi dagangan utama.
Semoga bahasan ini bermanfaat.
Penulis: Ustadz Yulian Purnama
Artikel: muslim.or.id